Dalam pantauan Bird Watching Indonesia Semarang, biasanya burung-burung mulai bermigrasi bulan Oktober dan kembali ke daerah asal sekitar bulan Maret. Mereka bermigrasi bertahap. Karena beberapa jenis burung tidak mampu terbang jauh, mereka singgah di beberapa daerah untuk makan.
Menurut Baskoro Karyadi, koordinator Bird Watching Indonesia Semarang, kota Semarang dan beberapa pesisir Jawa Tengah merupakan daerah singgah burung-burung pelintas benua itu. Kebanyakan burung singgah untuk mencari makan saja, bukan daerah tujuan.
"Burung-burung itu terbang melintasi benua, menyeberangi lautan secara naluriah saja. Setiap tahun mereka melakukan hal yang sama. Dan celakanya, manusia menjadikan mereka sebagai incaran perburuan. Rusaknya lingkungan yang menyebabkan burung enggan mampir juga menjadi ancaman tersendiri, " kata Baskoro.
Bila dahulu beberapa burung terlihat mampir di Semarang, saat ini sudah sangat jarang dijumpai burung migran di kota itu. Bagaimana mereka mau mampir di Semarang? Laut dan sungainya sudah tercemar. Tidak ada persediaan ikan. Sawah dan hutan semakin sedikit, membuat burung hanya melewati Semarang menuju tempat lain.
Tahun ini komunitas pengamat burung Semarang mendata burung-burung air yang masih singgah di Semarang berasal dari Jepang, Australia, Rusia, dan China. "Biasanya para pengamat menangkap mereka lalu mengenakan cincin dan melepasnya kembali. Warna cincin yang melingkar di kaki burung menunjukkan asal burung itu. Seandainya tidak ada ancaman, mereka bisa berpopulasi di sini dan menguntungkan kita karena banyak burung langka ikut bermigrasi," kata Baskoro.
Indonesia sesungguhnya sudah meratifikasi aturan yang memberi konservasi kawasan. Apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi tempat transit para penerbang lintas benua itu. "Isi konvensi tersebut adalah memberikan perlindungan terhadap kawasan yang dilintasi burung migran. Artinya, menjadi kewajiban pemerintah untuk mengawasi dan melindunginya. Tapi di lapangan, semua tidak berdaya," ujar Baskoro.
Selain mati karena ganasnya alam, banyak burung migran berakhir di piring menjadi santapan manusia. Beberapa penjual daging burung di Semarang bahkan mengaku masakan unggas ini banyak penggemarnya. Mereka rata-rata mengaku tidak tahu burung yang dijajakannya adalah burung dilindungi.
"Kami hanya mencari uang untuk menafkahi keluarga. Nyatanya, sejak tahun 2000 saya berjualan tidak ada yang melarang atau memperingatkan. Penjual iwak manuk seperti saya justru semakin banyak dan laris," kata Jasiman di warungnya, Jalan Madukoro Semarang.
Para pelanggan Jasiman juga tetap lahap menyantap daging burung goreng pesanannya, tanpa tahu kalau yang mereka santap bisa jadi sudah terbang ribuan kilometer dari Jepang atau Kanada atau negara lainnya yang belum pernah mereka kunjungi.
sumber : kaskus.us
0 komentar:
Posting Komentar